Indonesia Darurat Politik Dinasti

Ketua Yayasan ASA Indonesia, Syamsuddin Alimsyah menilai  praktik politik dinasti di Indonesia sekarang ini sesungguhnya sudah  sangat mengkhawatirkan dan mendekati darurat untuk segera di atasi. Kecendrungan itu nampak dalam setiap pemilu, baik itu pemilu Kepala Daerah, Pemilu Legislatif dan boleh jadi  akan meluas pada pemilihan Presiden 2024 mendatang.

‘’ Ini buah dari malapetaka hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan Nomor 90/PUU-XXI/2023  bahwa  kepala daerah atau pernah  menjadi kepala daerah, meski belum berusia 40 tahun, dapat maju menjadi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Semua juga tahu putusan itu subyektif menguntungkan Gibran anak Presiden Jokowi,’’ ujarnya.

Lebih jauh  Syamsuddin menjelaskan, politik dinasti sebenarnya tidak begitu disukai public. Bahkan sejarahnya selalu terjadi penolakan yang kuat dari masyarakat. Namun tetap dipaksakan oleh pihak pihak tertentu dengan berbagai cara memainkan praktik culas  termasuk menggunakan elemen elemen negara untuk kepentingannya.

‘’Sekarang ini sudah lebih parah dari sebelumnya. Sudah lebih vulgar, terbuka memanfaatkan elemen negara. Bayangin kalau sudah menembus benteng pertahanan  sekelas Mahkamah Konstitusi. Ini sudah benar benar kita berada dalam situasi yang mengkhawatirkan sebenarnya.  Demokrasi kita sudah dikorupsi,’’ ujarnya

Dalam praktik politik dinasti kecenderungannya menang selalu terbuka lebar karena potensi sumber dukungan datang dari kekuasaan yang menggunakan alat alat negara memenangkannya baik secara vulgar maupun silent. Pilkada  di Kota Solo  tahun 2020 yang di menangkan Gibran  dengan perolehan suara yang sangat tinggi sampai 86,5 persen mengalahkan rivalnya hanya meraih 13.5 persen adalah bukti dalam politik dinasti. Publik   semua ini  tidak lepas dari campur tangan Presiden Jokowi.  

‘’Dan cawe cawenya sejak awal seleksi berlangsung. Semula yang didorong PDIP bukan  Gibran, namun menjelang akhir akhir pendaftaran,  Jokowi menghadap Megawati  selaku Ketua Partai PDIP dan meminta anaknya yang direkomendasikan. Itu artinya telah terjadi intervensi sejak  proses pencalonan.  Hal yang sama juga terjadi Bobi di Kota Medan. Dan keduanya menang besar,’’ ujarnya.

Masih menurut Syam,   belajar dari beberapa negara  yang mempratikkan politik dinasti sesungguhnya  selain rekruitmen  regenarasi pemerintahannya tidak berjalan sehat dan berintegritas, Juga dalam pemerintahannya melanggengkan praktek  korup, juga tidak segan segan melanggengkan politik ancaman dan kekerasan terhadap warganya terutama yang menjadi lawan politiknya.  Misalnya Negara Nicaragua,  Presiden Daniel Ortega yang sukses memenangkan pemilu selama empat kali berturut-turut sejak tahun 2007.  Dan pemilu 2016 istrinya juga ikut mencalonkan sebagai wakil Presiden dan terpilih.  Selamat menjabat,  Ortega dan Murillo  dikenal sering melakukan tindak represif pada oposisi dan aktivis. Bahkan sempat dicap sebagai pelanggar HAM oleh negara-negara Barat.  

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *