Syamsuddin Alimsyah : Presiden Jokowi Bisa Dipidana Menghalangi Pemberantasan Korupsi Proyek E-KTP

Peneliti senior ASA Indonesia Syamsuddin Alimsyah menilai  pengakuan kesaksian mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo  bahwa dirinya pernah dipanggil  bertemu dengan Presiden Joko Widodo di istana membicarakan keinginan untuk menghentikan penanganan  kasus e-KTP yang menjerat Ketua DPR Setya Novanto dan kawan-kawan adalah persoalan sangat serius  yang harus diusut tuntas.

‘’Meski pengakuan kesaksian ini sudah sangat terlambat, namun bagi saya ini tetap harus diusut tuntas. Tidak boleh didiamkan begitu saja,’’ ujar Syamsuddin Alimsyah, Peneliti Senior ASA Indonesia.

Syamsuddin menjelaskan  berdasar keterangan kesaksian Agus Raharjo, maka  yang dilakukan Presiden Jokowi adalah bentuk kejahatan luar biasa dalam penegakan hukum kita yang secara nyata melanggar ketentuan hukum pidana.  Presiden Jokowi bisa saja dianggap melanggar  Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  dengan secara sadar dan sengaja  merintangi atau menghalang-halangi penegakan hukum  dalam kasus mega korupsi E-KTP.

‘’Ingat ini yang turun langsung Presiden lho. Dan dilakukan di istana, memanggil Ketua KPK seorang diri secara nyata meminta menghentikan.  Ini bukti Presiden sesungguhnya memang secara nyata bukan hanya tidak komitmen pemberantasan korupsi, tapi melindungi koruptor. Dan kasusnya sudah ada beberapa ditahan karena terbukti,’’ ujarnya lagi kembali menegaskan pengakuan ini harus diusut, tidak boleh didiamkan saja.

Bahkan Syamsuddin  menduga  boleh jadi  keputusan Pemerintah dan DPR sepakat melakukan  amandemen terhadap UU KPK  meski saat itu  menelang korban jiwa  adalah rangkaian atas kemarahan Jokowi terhadap Lembaga KPK yang menyulitkan dirinya melakukan intervensi.

‘’Dalam keterangan Pak Agus dijelaskan bahwa Presiden sempat  marah dan meminta agar kasus korupsi E-KTP dihentikan. Namun  permintaan Presiden tidak digubris Pak Agus dengan alasan Sprindik sudah terlanjur diterbitkan beberapa minggu sebelumnya, sementara UU KPK saat itu tidak memberi kewenangan KPK untuk melakukan SP3 terhadap kasus yang sudah ditanganinya.  Dan kita lihat kesesuaiannya, hasil amandemen UU KPK yang baru sekarang benar akhirnya KPK diberi kewenangan SP3,’’ ujar Syamsuddin

Syamsuddin memintah  pihak penegak hukum KPK  harusnya bergerak cepat mengusut  kasus ini dalam kaitan membongkar tabir kasus E KTP yang memang belum keseluruhan terungkap. Begitupun  DPR  sesungguhnya  bisa didorong menggunakan hak angket atau hak  penyeledikan atas kasus ini.

‘’semua harus diusut terang se terang terangnya. Apalagi kasusnya sendiri sebenarnya memang belum tuntas semua. Masih ada beberapa oknum yang diduga terlibat belum diseret ke meja hijau,’’ ujarnya.

Menurut Syamsuddin kasus dugaan korupsi mega proyek E KTP ini sejak awal memang mengundang perhatian publik. Bahkan berbagai actor secara langsung memang berusaha menghalang-halangi atau merintangi proses pengusutannya.   Misalnya Markus Nari, Mantan anggota DPR dari Fraksi Golkar  dihukum 8 tahun penjara dan diwajibkan mengembalikan uang proyek e-KTP yang dikorupsinya sebesar USD 400 ribu karena terbukti merintangi penanganan kasus tersebut. Begitu juga dengan pengacara  Fredrich Yunadi  divonis Mahkamah Agung . Mahkamah Agung 7 tahun 6 bulan penjara. Dan denda Rp500 juta subsider 8 bulan kurungan.  Dalam perkara ini, Fredrich terbukti menghalangi proses penyidikan KPK terhadap mantan Ketua DPR Setya Novanto yang saat itu meruapakan tersangka kasus korupsi proyek e-KTP.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *