Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Gajah Mada (UGM) Prof, Dr, Denny Indrayana menilai wajah demokrasi dan penegakan hukum kita kian terpuruk. Bahkan bila dikompersi dalam bentuk nilai rapor misalnya angka merahpun sudah tidak cukup. Dan tentu saja Presiden Jokowi harus benar-benar bertanggungjawab dengan kondisi tersebut
‘’Ada masa kita berbulan madu di awal- awal reformasi. Saat itu demokrasinya masih memberi harapan. Sayangnya di waktu waktu terakhir ini ada kemunduran, kemerosotan demorasi serta penegakan hukum kita. Dan tentu saja sebagai nahkoda, sebagai Kepala, sebagai Kepala Pemerintahan, Presiden Jokowi mau tidak mau harus bertanggungjawab kemerosotan demokrasi tersebuit,’’ ujar Denny Indrayana saat tampil podcast di chanel youtube Abraham Samad SPEK UP.
Lebih jauh Prof Denny mengurai berbagai bentuk kebijakan Presiden selama ini yang sesungguhnya merusak iklim demokrasi di tanah air, penegakan hukum dan anti korupsi, termasuk langkah Kepala KSP Jenderal (Pur) Moeldoko berniat mencopet Partai Demokrat adalah sebuah peristiwa yang tidak bisa dilepaskan begitu saja keterlibatan Presiden.
‘’Saya sejak setahun yang lalu kira-kira, sudah membuat surat terbuka kepada DPR untuk segera mengambil langkah politik. Melakukan pemecatan terhadap Presiden. Awalnya memang bahasanya masih agak sopan menggunakan bahasa asing (Impeactmen), lalu penggunakan istilah pemakzulan, terus agak lugas pemberhentian. Tapi karena tidak ada koreksi, sekarang saya gunakan istilah pecat. Karena memang pemakzulan sebenarnya itu adalah memberhentikan Presiden secara tidak hormat sebelum masa jabatannya selesai. Iya dipecat,’’ ujar Denny.
Denny Indryana juga lebih spesifik menanggapi pengakuan Agus Rahadjo (Mantan Ketua KPK Periode 2015-2019) yang benar-benar harus diusut, tidak boleh didiamkan. Bila terbukti bahwa yang bersangkutan benar pernah dipanggil ke istana secara diam-diam, lewat pintu khusus tidak diketahui banyak orang dan diminta Presiden menghentikan pengusutan kasus korupsi mega proyek E-KTP, maka ini sesungguhnya sudah memenuhi unsur untuk dilakukan pemecatan terhadap Presiden sebagaimana diatur dalam UUD.
‘’Katakanlah dalam korupsinya sendiri, ini pidana. Presiden menghalang-halangi, merintangi proses pengusutan kasus korupsi KTP yang sedang berjalan di KPK. Kalau itu benar terbukti, maka itu pidana,’’ ujarnya mengaku meski perlu pembuktian, namun dirita lebih percaya Agus Rahardjo dari pada Presiden.
‘’Sederhana sekali, ada banyak kejadian sebelumnya Presiden kadang memberi keterangan, penjelasan namun tidak bersesuaian. Kalau Presiden mengaku sudah mengecek di buku agenda ternyata tidak ada tercatat pertemuan itu, sebenarnya justru itu yang harus diseliki,’’ ungkapnya sembari menyindir Menteri Sekretaris Kabinet Pratikno yang tiba-tiba menjadi pelupa. ‘’Pak Pratikno katanya pertemuan itu sudah lupa. Dengan segala hormat saya sesama akademisi UGM, Bekas Rector saya, mungkin perlu dibantu untuk bisa kembali mengingatnya.
Tonton lebih lengkap dalam link berikut