
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (BGS), menghadapi penolakan dan kritikan masif dari berbagai penjuru.
Ratusan profesor dari seluruh Indonesia secara terbuka menyatakan kritik keras. 26 dekan fakultas kedokteran menolak hadir dalam pertemuan yang diinisiasinya.
Berbagai elemen organisasi profesi menggugat undang-undang kesehatan yang didorongnya. Sebagian elemen dokter mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terkait kolegium tandingan yang dibuatnya. Publik pun berteriak tentang carut-marutnya sistem BPJS dan kompleksnya permasalahan kesehatan yang tidak membaik diera BGS.
Muncul pula petisi online yang meminta BGS mundur. Tak tanggung-tanggung; sudah lebih 10 ribu orang bertanda tangan meminta ia dicopot sebagai Menkes. Belum pernah ada dalam sejarah, seorang Menkes ditolak sedemikian masif.
Beragam dinamika ini tentu bukan sekadar kritik biasa. Ini sinyal jelas bahwa BGS telah kehilangan legitimasi dari mereka yang seharusnya menjadi mitra utamanya—yaitu akademisi, profesional, dan rakyat. Dalam konteks ini, pilihan terbaik dan satu-satunya jalan keluar yang rasional adalah: BGS harus mundur atau diberhentikan segera. Jika tidak, Indonesia akan menghadapi krisis sistemik dalam pembangunan kesehatannya.
Pertama, retaknya hubungan antara BGS dengan komunitas akademik serta profesi akan membuat seluruh program pemerintah tersendat dan kehilangan daya dorong dan daya ungkit. Bagaimanapun, akademisi dan profesional bukan sekadar pelaksana teknis; mereka adalah fondasi pengetahuan, moral, dan etika dalam sistem kesehatan. Mereka bukan hanya think-thank dan front-liner, tetapi juga ruh bidang kesehatan.
Tanpa dukungan mereka, program-program kesehatan hanya akan menjadi slogan kosong. Berjalan tanpa ruh dan tanpa hasil. Memusuhi mereka adalah kesalahan fatal. Klaim bahwa BGS bisa menjalankan program tanpa mereka adalah delusi dan bahkan halusinasi. Kekuasaan tidak akan mungkin menang melawan profesionalisme. Akademisi dan profesi tunduk pada prinsip etika dan integritas, bukan tekanan kekuasaan.
Ketika para pemikir dan garda terdepan dunia medis bersikap diam atau bahkan pasif-agresif, maka BGS akan bekerja sendirian dalam ruang kosong. Akan terus muncul resistensi. Akibatnya bisa diduga : gagalnya pencapaian Asta Cita Presiden Prabowo, dan runtuhnya kredibilitas pemerintah dalam sektor kesehatan.
Kedua, BGS, secara sadar atau tidak, telah menciptakan polarisasi tajam di kalangan tenaga kesehatan. Ia membangun lingkar kekuasaan melalui bagi-bagi jabatan, penunjukan loyalis, dan penggunaan buzzer media sosial untuk menggiring opini. Ia menggandeng pihak tertentu dan menendang pihak lain. Ia bermanis-manis dengan kelompok yang dibangunnya dan bermuka masam terhadap kelompok yang berbeda pendapat. Hasilnya, terbentuk faksi-faksi di tubuh profesi dan akademik.
Dokter dibuat melawan dokter, profesor melawan profesor, tenaga kesehatan saling mencurigai satu sama lain. Dunia medis yang seharusnya solid dan sinergis, kini tercerai-berai. Ini bukan sekadar dinamika demokrasi—ini adalah perpecahan struktural yang mengancam masa depan sistem kesehatan. Ini adalah politik pecah belah versi kolonial yang sangat tidak layak dimainkan di era saat ini.
Jika BGS terus memimpin, perpecahan ini akan semakin tajam dan mendera. Dunia kesehatan Indonesia pecah seperti piring retak. Akibatnya apa? Program pembangunan kesehatan tidak akan pernah berhasil. Kredibilitas pemerintah memudar.
Ketiga, persoalan loyalitas BGS menjadi titik rawan tersendiri. Saat sowan ke Presiden Jokowi, ia dengan terang menyebut Jokowi sebagai “bos saya”—bukan mantan atasan, tetapi bos yang masih diakui. Ini bukan sekadar slip of the tongue. Ini cermin dari orientasi politik yang belum berubah.
Pada pemerintahan Presiden Prabowo, keberadaan seorang menteri yang loyal pada kekuasaan sebelumnya justru menghadirkan konflik kepentingan. BGS tidak mungkin bekerja optimal untuk visi besar Prabowo jika pikirannya masih berlabuh pada kepentingan dan jaringan masa lalu. Ia melihat dua matahari, dan itu menjadikan komitmennya kepada pemerintahan yang sekarang menjadi rapuh.
Prabowo membutuhkan orang yang benar-benar loyal dengan pemerintahan dan programnya; bukan orang setengah hati dan setengah jiwa. Orang yang mampu mengemban prinsip Asta Cita yang digagasnya, tanpa ada irisan kepentingan dengan rezim masa lalu, yang tentu masih memiliki sarat kepentingan dengan kondisi saat ini.
Kesimpulannya tegas: mempertahankan BGS adalah keputusan tidak elegan dan memiliki risiko strategis yang terlalu besar. Tanpa bermaksud mendikte Prabowo, BGS mesti mundur atau direhufle. Ini bukan semata persoalan jabatan, melainkan pertaruhan terhadap arah reformasi kesehatan, kredibilitas pemerintahan Prabowo, dan masa depan sistem kesehatan nasional.
Menggantinya bukan keputusan politis semata, tapi langkah penyelamatan yang urgen—untuk mengembalikan kepercayaan, merekatkan kembali profesi yang retak, dan memastikan Asta Cita tidak gagal di sektor kesehatan.
Penulis: Iqbal Mochtar