Cost Politik Murah, Uang Kenakalan yang  Mahal

Menanti Putusan MK Tentang Sistem Pemilu

Setiap kali menjelang pemilu setidaknya ada 5 isu krusial dan utama menyita perhatian publik, tentu tanpa mengabaikan isu lain.

  1. Sistem Pemilu — sekarang proporsional terbuka
  2. Parlementary threshold (ambang batas parlemen yang sekarang 4 Persen suara pemilu)
  3. Presidential threshold (syarat dukungan pencalonan presiden/wakil  sebesar 20 persen kursi di Parlemen atau 25 % perolehan suara),
  4. Perhitungan besaran jumlah Dapil dan kursi dalam setiap dapil (District magnitude)
  5. Metode perhitungan suara

Kelima isu tersebut selalu menjadi perdebatan yang cukup alot dan berlangsung lama di saat pembahasan RUU Pemilu. Kalau sempat ingat, proses perjalanan UU 7 tahun 2017  tentang Pemilu itu pembahasannya sampai 3 tahun lebih hingga berhasil ditetapkan oleh DPR.

Pernah  ada wacana akan dilakukan revisi terbatas di antara tahun  2019 -2020. Saat itu berkembang perlunya revisi  soal ambang batas parlemen dan syarat dukungan pencapresan, sementara sistem pemilu tidak disinggung sama sekali. Hingga saat ini, mayoritas partai masih sepakat dengan  sistem proporsional terbuka yang selama ini sudah berjalan.

Tapi kenapa diributkan sekarang?  Tak lain, lantaran adanya beberapa warga sekitar  November 2022 lalu mengajukan uji materil   UU 7 tahun 2017 , khususnya pasal 168 ayat 2  terkait sistem pemilu terbuka.

Jadinya perdebatan muncul lagi dan bolanya dipindahkan ke Lembaga Mahkamah Konstitusi (MK). Sayangnya secara kebetulan  sekarang ini kepercayaan publik terhadap para majelis Hakim Konstitusi sangat anjlok untuk tidak menyatakan sudah hilang. Nilai nilai kenegarawanan para pengambil putusan mulai diragukan. Sehingga agak ngeri-ngeri sedap bagi publik menanti seperti apa putusan nanti yang akan diambil MK.  Publik dibuat cemas kalau saja putusan MK tidak akan sejalan dengan harapan publik.

Sebenarnya  diskusi sistem pemilu proporsional tertutup dan terbuka biasa saja. Ini bukan barang baru karena semua sudah pernah diterapkan.  Sistem tertutup bahkan diterapkan sejak pertama Indonesia mengenal pemilu 1955 hingga 2004. Itu artinya 49 tahun kita gunakan.   Selain Indonesia ada juga beberapa negara yang menganut proporsional tertutup. Setidaknya 47 negara,. Misalnya Albania, Armenia,  Austri, Azerbaican, Bosnia, Prancis, Demmark, German  dll.

Indonesia sendiri akhirnya melakukan evaluasi terhadap sistem pemilu tertutup. Bermula di tahun 2008 menjelang pemilu 2009,  sistem pemilu tertutup diuji dan  keluar putusan  Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tertanggal 23 Desember 2008, menyatakan sistem pemilu tertutup tidak konstitusional atau tidak sejalan dengan UUD 1945. Ada banyak pertimbangan majelis saat itu termasuk alasan perlindungan konstitusional pemilih. Maka pemilu 2009  adalah titik awal sistem pemilu di Indonesia adalah proporsional terbuka hingga sekarang.  DPR sebagai pembuat UU bersama pemerintah juga mengamini mengikat dalam UU Pemilu termasuk UU 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang jadi rujukan pemilu 2024 mendatang.

Secara sederhana perbedaan sistem terbuka dan tertutup.

Dalam sistem proporsional terbuka,  secara teknis masyarakat  atau pemilih berinteraksi langsung mengenal calegnya sebelum menjatuhkan pilihannya.  Pimilih tidak hanya kenal  logo partainya atau syukur syukur kenal visi misi partainya. Tapi bisa berinteraksi kontrak politik dengan caleg bersangkutan.  Pemilih punya kekuatan politik tagih janji.  Tidak hanya sekedar kenal partainya seperti dalam sistem tertutup.  Dalam keterpilihan caleg yang akan dilantik adalah yang perolehan suaranya tertinggi dalam partai tersebut yang sesuai perhitungan berhak perolehan kursi di parlemen.  Berbeda dalam sistem tertutup, nama caleg tidak ditampilkan di kertas suara namun hanya menampilkan lambang partai yang keterpilihannya ditentukan oleh internal partai politik.  Bahkan sangat terbuka partai mengajukan orang mantan koruptor tanpa diketahui publik. Dan itu pernah terjadi di pemilu pemilu sebelumnya.

Cost Politik Sesungguhnya Murah, Uang Kenakalan yang  Mahal ;

Dalam sistem pemilu terbuka yang berlangsung  selama ini  telah membentuk  paradigma sesat pikir bagi masyarakat  yang  melihat pemilu sebagai ajang transaksional..  Broker politik tumbuh subur mengkapitalisasi suara warga dengan rupiah. Bahkan ada istilah NPWP, yaitu “Nomer Piro, Wani Piro” (nomor berapa, berani berapa) yang populer jelang pemilihan. Para penganut aliran tertutup  seolah meletakkan dosa maraknya politik uang karena sistem pemilunya yang terbuka.

Mereka lupa praktik politik uang, penghilangan hak pilih  bahkan perampasan kemerdekaan warga dalam menentukan wakilnya sesungguhnya potensi terjadi di semua sistem pemilu. Termasuk  dalam sistem tertutup pun demikian,  bahkan bisa  lebih parah.  Bukankah evaluasi kita dari setiap pemilu sejak tahun 1955, politik uang adalah adalah salah satu ancaman serius yang tidak terselesaikan selain netralitas birokrasi dan penyelenggara.  Jadi sesungguhnya alasan politik uang dapat disimpulkan tidak berkorelasi langsung dengan sistem pemilu. Melainkan pada institusi pengawasan pemilu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Bawaslu selama ini tidak ubahnya  Antara Ada dan Tiada. Ada dalam absensi  tapi alpa dalam kinerja.

Alasan lain terkait cost politik atau biaya politik yang mahal sesungguhnya juga tidak terkait langsung dengan sistem pemilunya. Melainkan pada kelakuan politisinya.  Kita harus mampu membedakan secara tegas, COST POLITIK  DAN UANG KENAKALAN POLITISI.  Biaya politik pasti ada tapi bisa dihitung jumlahnya. Bisa dikalkulasi. Dan murah. Yang menjadi mahal adalah uang kenakalan yang memang jumlahnya pasti mahal bahkan tak terbatas.  Kenapa ? karena dorongannya adalah nafsu kuasa. Bukan pengabdian. Karenanya, mengatasi uang kenakalan tersebut harus menjadi tanggungjawab pengawasan dari Badan Pengawas Pemilunya. Kalau mereka tidak bisa mengatasi maka evaluasinya bisa pada institusinya, kewenangannya atau  karena memang komisionernya tidak layak dipercaya.

Syamsuddin Alimsyah,

Ketua ASA Indonesia