Peneliti Yayasan ASA Indonesia Syamsuddin Alimsyah merespon kegiatan mobilisasi Kepala Desa dan Aparat Desa di Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta kemarin adalah bukti nyata praktek kecurangan menjelang pemilu presiden dipertontonkan secara vulgar di hadapan publik. ‘’Badan Pengawas Pemilu RI harus segera memproses kegiatan ini sebagai bentuk pelanggaran pidana pemilu,’’ ujar Syamsuddin di Jakarta.
Syamsuddin menjelaskan sekarang ini integritas pemilu sedang dipertaruhkan dengan kinerja penyelenggara pemilu terutama Bawaslu dalam menjalankan pengawasan secara kuat dan professional. Bila mana Bawaslu lambang atau bahkan tidak memproses kegiatan di GBK, bukan tidak mungkin kejadian serupa atau bahkan pratek kecurangan lain yang lebih berbahaya akan dilakukan lagi.
‘’ Sepertinya kegiatan di GBK kemarin bisa dimaknai semacam test the waters saja. Pasangan calon (Paslon) bersangkutan ingin melihat, mengukur respon public dan terutama penyelenggara terhadap rencana kejahatan yang akan dilakukan. Apakah kuat, tegas atau justru sebaliknya bisa diajak bermain main dalam pemilu. Sebab pelanggarannya sangat jelas ada dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Ini pelanggaran pidana pemilu,’’ tambahnya.
Syamsuddin juga menambahkan sejak awal proses tahapan pilpres di mulai, public sudah menemukan berbagai praktek kecurangan yang merusak integritas pemilu. Dan actor kecurangan itu justru dipertontonkan secara vulgar mulai dari pihak istana ke bawah. Bagaimana seorang Presiden tanpa ada rasa bersalah bahkan dengan gagah mengakui pihaknya secara sadar melakukan praktik cawe-cawe dalam pemilu. Bahkan mengkonsolidasikan kepentingan politik langsung dari istana. Dan semua ini justru didiamkan oleh Bawaslu sampai hari ini.
‘’Sebenarnya publik itu sudah hampir sampai pada tingkat prustasi melihat kinerja Bawaslu yang tidak optimal bahkan jauh dari harapan. Publik malah sudah sampai pada kesimpulan, masalah pemilu sekarang sepertinya bukan di Paslon dan Masyarakat. Namun masalah terbesar pemilu dan Pilpres kali ini ada sama penyelenggaranya yakni Bawaslu dan KPU yang tidak professional. Pemantau Pemilu justru harus diarahkan lebih baik focus memantau Bawaslunya,’’ ujar Syamsuddin.
Syamsuddin juga mengkritik paslon yang tidak menjaga etika dan konstitusi dalam berkompetisi. Setidaknya ada dua hal yang harus dilihat dari paslon bersangkutan. Pertama, boleh jadi paslon tersebut tingkat pemahaman, intelektual sebagai kontestan yang memang perlu dipertanyakan. Boleh jadi yang bersangkutan meski mengaku secara akademik sempat mengenyam pendidikan tinggi, namun siapa sangka yang bersangkutan pemahamannya tentang regulasi kompetisi pemilu rendah sehingga tidak paham yang dilakukan apakah masuk ketegori melanggar, merusak demokrasi atau tidak? Bila demikian, maka kandidat ini sesungguhnya tak pantas untuk dipilih. Kedua, boleh jadi paslon tergoda melakukan praktik kecurangan, menghalalkan segala cara dalam berkompetisi karena ada ketidakpercayaan atas dirinya bisa menang secara fair. Sebaliknya paslon bersangkutan yakin betul hanya bisa menang dengan melalui kecurangan. Dan inipun sangat berbahaya karena prinsip dasar pemilu dirusak dan tentu juga akan menghasilkan pemimpin otoritarian.